Kamis, 29 Agustus 2013

Kandidat Doktor dari Kalangan Yatim

Menjadi anak yatim sejak usia dua tahun memiliki impian bersekolah tentu tidak mudah. Apalagi sampai memasuki perguruan tinggi bahkan akhirnya menjadi kandidat sebagai doktor. Musriadi Aswad MPd ternyata sedikit dari “penyandang yatim” yang mendapatkan karunia tersebut. 
 
Di usianya yang ke-37 tahun, Musriadi kini kuliah S3 di Universitas Negeri Medan dan tidak lama lagi akan menyandang gelar doktor manajemen pendidikan. Lika-liku dalam mengejar cita-cita menjadi dosen harus dilaluinya dengan prihatin. Keterbatasan biaya membuatnya menjadi pekerja di bawah umur. Secara ringkas, setelah menamatkan jenjang sekolah menengah atas pada tahun 1994, pendidikannya terhenti selama 7 tahun, karena alasan klasik, kesulitan biaya. 
 
Berbagai profesi ia lakukan untuk mengisi kevakuman menimba ilmu. Bekerja serabutan sebagai pekerja bangunan, berjualan ayam potong, kernet angkutan umum atau pun menjadi penjahit sepatu, dilakoninya untuk memenuhi kebutuhannya bersama ibunya, Salma Insya, pekerjaan apapun yang halal akan dikerjakannya. Dengan berhemat, maka uang pemasukan yang diterima juga dapat dialirkan untuk biaya pendidikan adik-adiknya. Sebagian lagi uang lebih ditabungnya. 
 
Cita-citanya untuk kuliah terus menggoda keinginannya. Tahun 2001, suami dari Yenni Ulfiana SpdI ini terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh. Selama 4 tahun belajar di kampus tersebut, gelar sarjana pendidikan pun diraihnya. Tidak terlena lama dengan sarjana S1nya, kembali ayah dari Muhammad Rayyan (6 th) dan Jihan Khansa (1th) ini, peluang guna melanjutkan pendidikan magister administrasi pendidikan Unsyiah pun tidak disia-siakan. 
 
Bermodalkan beasiswa yang diperoleh dari kampusnya tersebut, melempangkannya meraih title master pendidikan dengan waktu tempuh terbilang singkat. “Saya selalu berdoa agar pendidikan S2 dapat selesai tepat waktu. Alhamdullah master pendidikan dapat dikejar dalam waktu 18 bulan”, katanya. 
 
Dan akhirnya, Ketua DPD Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP3) Aceh kembali mendapatkan beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan jenjang S3 jurusan manajemen pendidikan Universitas Negeri Medan, kali ini Sekretaris umum Forum Mahasiswa Magister Administrasi Pendidikan Unsyiah merasakan rahmat Illahi begitu berlimpah. 
 
Sebagai anak yatim, filosopi bekerja keras dan jujur sejalan dengan motto dari Wakil Ketua Diklat KNPI Banda Aceh --hidup adalah perjuangan dan dalam berjuang dimulai dari mimpi dengan bekerja keras—ternyata mampu mengubah status dari level anak bawah menjadi “orang berhasil”. 
 
Kini, Musriadi tengah mengarah untuk menyusun disertasi dengan judul Kepemimpinan dan Manajemen Kepala Sekolah. Bila tidak ada hambatan, maka Gelar Doktor akan disandangnya dua tahun mendatang. Mks/Son

Bongkar Pendidikan Tinggi Kita


Tulisan Hendra Gunawan (Kompas, 19/8) sangat menarik dan patut disimak semua insan yang terlibat dalam kegiatan pendidikan tinggi.

Hendra mengupas fakta kerdilnya perguruan tinggi (PT) kita dibandingkan dengan PT di negara jiran sekalipun; jangan dulu dibandingkan dengan PT di negara maju. Rayap-rayap kecil di bawah tanah yang sulit terlihat telah menggerogoti akar PT kita sehingga sulit tumbuh meski sudah dirawat dengan perhatian penuh dan penanganan khusus.

Beberapa PT kita sudah berusia lebih dari 50 tahun, tetapi pertumbuhan mutunya tak normal. Karena PT bukanlah pohon yang sembarang dapat ditebang dibuang begitu saja, satu-satunya jalan, ya, membongkarnya.

Jelas dari paparan Hendra, solusi harus radikal, sampai ke akar. Jika tidak, program insentif, hibah, akreditasi, dan sertifikasi tak akan pernah menumbuhkan pohon PT kita sebagaimana pohon di negara tetangga atau di negara maju. Hendra memaparkan delapan masalah. Saya hanya membahas tiga yang urgen: sistem, kualitas dosen, dan dana yang bermuara pada riset di PT.

Benar bahwa semuanya berawal dari sistem perguruan tinggi kita yang kurang/tidak berbasis merit. Sistem perekrutan dosen, sistem penilaian kinerja, hingga sistem kepangkatan kita terlalu manusiawi: beberapa dosen PTN masih tetap menikmati gaji meski hanya datang ke kampus satu-dua kali seminggu. Tak perlu mati-matian riset, asal ada satu-dua di antara berkas yang diajukan terindeks Scopus, seorang dosen dapat menjadi profesor. Di negara maju betapa sulit memperoleh posisi profesor di PT sana.

Mental amtenar

Ada benarnya bahwa kualitas dosen kita rendah karena sistem perekrutan dosen kita tak pernah diperbaiki sejak tempo dulu. Kualitas dosen PTN seharusnya lebih tinggi dari yang lain, tetapi mental amtenar sudah menjelma menjadi salah satu rayap tadi. Meski mengamini ihwal ini, saya masih yakin bahwa cukup banyak dosen kita berkualitas mumpuni untuk bersaing di dunia internasional. Buktinya, banyak dosen kita yang menamatkan S-3 di PT papan atas negara maju dengan hasil riset yang bahkan mencengangkan koleganya di sana. Sayangnya, pembusukan akademis selama puluhan tahun di Tanah Air telah menurunkan kualitas kebanyakan mereka hingga hampir mencapai titik nadir.

Cerita tentang dana riset PT membosankan, tetapi tetap mengherankan mengapa hingga kini pemerintah tak berambisi berinvestasi besar-besaran di PT? Mestinya pemerintah berani karena, jika tidak, PT kita akan makin jauh ketinggalan dari PT di Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam (”Antara Langit dan Bumi”, Kompas 24 November 2011).

Pemerintah harus berupaya memberi otonomi seluas-luasnya kepada PTN meski bagi sekelompok orang di republik ini, otonomi sudah masuk barang haram karena diterjemahkan dengan kamus yang tak tepat. Sebenarnya tanpa otonomi, PTN akan terus dibebani para amtenar yang menuntut lebih banyak hak dibandingkan dengan menunaikan kewajiban. Dengan otonomi, PTN ditantang membuat sendiri sistem yang sehat, berbasis merit yang dituntut Hendra, yang tidak mengizinkan hidupnya rayap-rayap tadi.

PTN, misalnya, dapat langsung menghukum dosen yang malas atau memberi jabatan profesor untuk yang berprestasi tanpa harus menunggu izin pemerintah. Sistem berbasis merit ini rasanya sulit diciptakan secara nasional karena disparitas mutu PT di Tanah Air yang sangat lebar.

Harus diakui bahwa bukan hanya PTS yang melakukan bisnis pendidikan. PTN pun turut mengais rezeki. Meski bisnis ini halal selama tidak menzalimi orang, kegiatan ini harus dikurangi agar PT mulai berorientasi kepada riset. Tingginya kegiatan pendidikan di PTN yang terlihat dengan tingginya aktivitas para dosen, baik dalam kelas maupun dalam pembuatan perangkat pendidikan, jelas mengindikasikan kelalaian pada riset. Jumlah mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang berimbang merupakan syarat mutlak perbaikan kualitas PT, asalkan program pascasarjana tersebut berbasis riset.

Tidak ada pilihan lain, kecuali dosen yang direkrut adalah lulusan terbaik yang ada. Dosen yang direkrut haruslah berjenjang S-3 sehingga dapat langsung masuk ke dunia riset di kelompoknya. Apabila masih S-1 atau S-2, kemungkinan yang bersangkutan pindah bidang sewaktu studi S-3 sehingga menyulitkan pengembangan kelompok riset yang sudah ada.

Dosen yang periset

Perekrutan harus langsung melibatkan departemen bahkan kelompok riset karena hanya mereka yang lebih tahu bidang dan dengan kualifikasi apa seorang pelamar bisa diterima. Harus ditekankan, seorang dosen adalah juga periset sehingga pelamar yang tak berbakat riset hanya akan merepotkan PT di belakang hari. Jadi, perekrutan melalui sistem pegawai negeri seperti yang berlaku saat ini jelas tak tepat. Di sini otonomi PTN mutlak perlu.

Profesor yang sebenarnya adalah profesor paripurna yang sudah didefinisikan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 3 dan 4). Meski memiliki ribuan kum, profesor yang ada saat ini belum tentu profesor sebenarnya dan mungkin harus direposisi ke jabatan profesor asosiasi atau madya.

Untuk mendapatkan jabatan paripurna, profesor harus dinilai ulang atau harus melakukan penelitian lebih giat lagi untuk memenuhi tuntutan ayat 3 yang mensyaratkan pengakuan internasional sehingga posisinya jelas setara dengan posisi profesor di negara maju dan dampaknya jelas signifikan dalam menaikkan kualitas PT.

Profesor adalah jabatan, bukan hadiah atau gelar. Yang berhak mendapat jabatan itu ialah mereka yang mampu mengemban tugas jabatan. Pikiran bahwa profesor adalah hak bagi mereka yang telah memiliki sejumlah kum tertentu jelas akan terus mengerdilkan PT.

Pada akhirnya rekomendasi di atas tak dapat dijalankan jika tak ada komitmen pemerintah berinvestasi besar-besaran dalam dunia riset PT. Riset di PT butuh dana sangat besar. Tak semua menghasilkan produk hilir yang langsung dinikmati masyarakat.

Memanggil lulusan terbaik jadi dosen tak mudah jika insentif dan fasilitas yang ditawarkan tak menarik. Namun, dengan PDB lebih dari Rp 1.500 triliun rasanya tak mustahil mewujudkan hal ini. Lagi pula, apa mungkin kita dapat memancing ikan paus dengan umpan ikan teri seperti yang selama ini kita lakukan?

Oleh: Terry Mart
Terry Mart, Pengajar Fisika FMIPA UI

PAN Kota Banda Aceh Gelar Pengkaderan

WartaAceh.com | Banda Aceh - Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional Kota Banda Aceh akan menggelar Latihan Kader Amanat Dasar (LKAD) Tingkat I.  Pelatihan ini  direncanakan akan berlangsung mulai 7 sampai 9 September  2012 di Banda Aceh dan  diikuti 100 peserta perwakilan DPC PAN seluruh kecamatan Kota Banda Aceh, Aceh Besar dan kota Sabang.

Menurut Ketua Badan Pembinaan dan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPD PAN Kota Banda Aceh, Musriadi Aswad MPd, kegiatan tersebut diharapkan mempersiapkan kader partai paham tentang dasar dasar kepartaian sertai ideologi partai.
“Pembentukan karakter dan milintasi kader partai adapun tujuan dari LKAD ini membangun kader yang menegaskan ideologi PAN dan mampu menjalankan visi dan misi dan platform partai,” ungkap Musriadi Aswad dalam rilis yang diterima WartaAceh.com, Jumat (31/8/2012).
Lebih lanjut ia mengutarakan, bahwa  membangun kemampuan kader dalam berorganisasi dengan manajemen profesional, membekali tehnik-tehnik kepemimpinan kader agar mampu mengelola dirinya sendiri dan konstituen di lingkungannya serta membekali nilai nilai PAN kepada kader agar mampu menjalankan tugas sebagai kader secara efektif dan amanah.
Sementara itu Ketua DPD PAN Kota Banda Aceh Drs H K Zainal Arifin menjelaskan pemateri dan instruktur langsung dari badan pengkaderan DPP PAN. Adapun materi pada LKAD yaitu sejarah PAN, ideologi PAN, platform dan AD/ART PAN, leadership dan team building, teknik persidangan, program aksi kader dan undang undang pemilu.
“Latihan Kader Amanat Dasar selain diikuti oleh kader dan simpatisan partai, masyarakat luas juga diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut, dengan cara mendaftar di sekretariat DPD PAN Kota Banda Aceh jalan Gabus nomor 50 Lamprit Banda Aceh,” terang  Zainal Arifin.
Kegiatan pengkaderan itu nantinya akan dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat Kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat pusat.[]
Reporter: Deddy Satria 

BERMULA DARI KERJA KERAS

“Berangkat dari status anak yatim pada usia 2 tahun. Setelah menyelesaikan SMA tahun 1994, karena tiada biaya, 7 tahun ia menjadi pengangguran sambil bekerja serabutan mulai dari pekerja bangunan sampai menjadi pedagang ayam potong di Ulee Kareng Banda Aceh. Baru kemudian pada tahun 2001 atas dorongan salah seorang Kepala Desa di Ulee Kareng ia melanjutkan studi sampai S3”


Hidup adalah perjuangan, dalam berjuang harus dimulai dari mimpi dan kerja keras. Tak terkecuali bagi Musriadi Bin Aswad. Lelaki kelahiran Ilie Ulee Kareng Banda Aceh, 25 Agustus 1976, tak menyangka bisa melanjutkan studi sampai jenjang S3.

Pasalnya sejak tamat SMA tahun 1994, Musriadi tak langsung melanjutkan studi ke jenjang S1. Melainkan memilih kerja membantu ibunya untuk biaya pendidikan adik-adiknya. Selama menjadi “penganggur” itu, Musriadi bekerja apa saja, mulai dari pekerja bangunan, kernet labi-labi, penjahit sepatu sampai menjadi pedagang ayam potong.

“Dari semua itu, saya terus bekerja keras, saya bermimpi untuk hidup selalu bermakna bukan saja untuk diri saya, tapi masyarakat secara umum” Katanya.

“Bagi saya, eksistensi kehidupan kita harus bermakna bagi semua orang, dengan sikap saling hormat menghormati. Karena saya sudah merasakan hidup dibawah menjadi pekerja yang kadang-kadang orang tak menghormati kita ketika berada di level bawah” Lanjutnya.

Dari itu, Musriadi memasang mimpinya untuk dapat hidup selalu bermakna bagi orang disekitarnya. Ia membangun mimpinya dengan melanjutkan studi S1 pada tahun 2001 di Universitas Serambi Mekkah setelah menjadi “penganggur” selama 7 tahun sejak selesai SMA Negeri 4   Banda Aceh sekarang SMA Negeri I Krueng Barona Jaya.

Ia tidak main-main dengan mimpinya, 4 tahun kemudian ia menjadi sarjana S1. Sejurus kemudian ia lanjutkan ke jenjang S2 bidang Manajemen Pendidikan di Universitas Syiah Kuala. Tak tanggung-tanggung, ijazah S2 ia peroleh 18 bulan. Menjadi inspirasi tersendiri bagi mahasiswa lain ketika itu.

“Dari awal saya berdoa, supanya pendidikan S2 selesai tepat waktu, alhamdullah S2 dapat saya selesaikan dalam kurun waktu 18 bulan” Katanya.

Buah dari kerja keras dan ketekunannya, Musriadi salah satu putra Aceh yang selalu mendapatkan beasiswa dalam menempuh studi, baik dari S1, S2 maupun S3. Itu semua ia lakukan bukan hanya harus belajar yang tekun, tapi usaha untuk mendapatkan beasiswa itu penuh dengan lika-liku dan optimisme.
Dalam bidang organisasi, Musriadi salah satu putra Ulee Kareng Banda Aceh yang patut dibanggakan. Pasalnya jiwa sosial untuk pengabdian dia kepada masyarakat bukan saja ditribusi melalui jalur akademis, tapi juga dengan jalur organisasi. Musriadi terlibat aktif di sejumlah organisasi baik yang bersifat kepemudaan, agama dan sosial dengan skala regional dan nasional.

Hal ini, dibenarkan oleh Jalaluddin (Kandidat Doktor Bidang Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Medan). Bagi Jalaluddin, Musriadi memiliki semangat juang, motivasi, pekerja keras dan sahabat yang setia dalam setiap organiasi. “Musriadi memiliki semangat kerja yang luar bisa untuk melawan kehidupannya masa silam yang terpuruk. Karena semangat itu, saat kini menjadi salah satu putra Banda Aceh asli yang diperbincangkan eksistensi baik dari segi akademis maupun dalam organisasi sosial keagamaan” ujar Jalaluddin yang setia menjadi koleganya sejak masih sama-sama masa studi SI dulu..

Keluarga
Istri    : Yenni Ulfiana, S.Pd.I
Anak : 1. Muhammad Rayyan ( 6 tahun)
            2. Jihan Khansa (1 tahun)

Sejarah Organisasi
  1. Wakil Ketua KNPI Kota Banda Aceh
  2. Ketua DPD forum Purna SP3 (Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan) Provinsi Aceh
  3. Wakil Sekretaris Badko HMI Provinsi Aceh
  4. Wakil Ketua Gerakan Pemuda Anti Korupsi (Gepak) Provinsi Aceh
  5. Bendahara Umum Forum Pemuda Produktif (FPP) Provinsi Aceh
  6. Sekretaris Umum Lembaga Pendidikan Keotaradja (LPK) Provinsi Aceh
  7. Sekretaris umum Farum Mahasiswa Magister Administrasi Pendidikan Unsyiah.

  
Penghargaan
  1. Penerima Beasiswa Nurani Dunia, tahun 2004
  2. Penerima Beasiswa BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana), Dikti, Program S2 di Universitas Syiah Kuala, tahun 2008-2010
  3. Penerima Beasiswa BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana), Dikti, Program S3 di Universitas Negeri Medan, tahun 2012-sekarang)
  4. Penerima Penghargaan Bidang Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan di Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI.
  5. Penerima Hibbah Penelitian Fundamental dari Kementerian Pendidikan Nasional RI.


Musriadi Aswad, M.Pd
Kandidat Doktor Bidang Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Medan.

Rabu, 21 Agustus 2013

Keutamaan Ilmu Daripada Harta

Sepuluh orang kaum Khawarij mendatangi Khalifah ke-IV, Ali bin Abi Thalib Ra. Mereka mendatangi Khalifah karena ingin menanyakan sesuatu, di samping rasa iri terhadap kepandaian khalifah, baik dalam ilmu agama maupun lainnya. Rasuluilah Saw pernah bersabda: "Aku ini kotanya ilmu pengetahuan, dan Ali adalah sebagai pintunya." 
Sesampainya mereka dihadapan Khalifah Ali, mereka diterima dengan ramah, dan Khalifah menganggap mereka sebagai tamu terhormat. 
Salah seorang dari mereka membuka pertanyaan kepada Khalifah Ali: "Wahai Ali, kami adalah sepuluh orang yang diutus oleh kaum kami untuk mengajukan pertanyaan kepadamu, dan kami akan bergiliran bertanya kepadamu. Dan jawabanmu nantinya akan kami bawa pulang kepada kaum kami." 

Khalifah Ali menjawab: "Baiklah kalau demikian. Dan apa yang akan kalian tanyakan padaku?" 
"Wahai Ali, manakah yang lebih mulia, ilmu pegetahuan atau harta benda, dan terangkan pula sebab-sebabnya?" tanya orang pertama. 
"Ilmu pengetahuan itu adalah warisan para nabi, sedangkan harta kekayaaan adalah warisan Qarun, Syadad dan lain-lain. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan lebih mulia daipada harta benda," jawab Khalifah Ali. 
Kemudian orang kedua memberikan pertanyaan: "Manakah yang lebih mulia ilmu pengetahuan atau harta benda, dan jelaskan sebab-sebabnya?" 

"Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmulah yang menjaga dan memelihara pemiliknya, sedangkan harta yang empunyalah yang memelihara dan menjaganya," jawab Khalifah Ali. 
Setelah orang pertama dan kedua selesai dijawab oleh Khalifah Ali, kemudian orang ketiga, keempat, kelima, hingga orang kesepuluh mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh orang pertama dan kedua. 
Kepada penanya ketiga khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena orang yang berilmu banyak sahabatnya, sedangkan orang yang banyak hartanya lebih banyak musuhnya." 

Kepada penanya keempat khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu bila disebarkan atau diajarkan akan bertambah sedangkan harta kalau diberikan kepada orang lain akan berkurang." 
Kepada penanya kelima khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak dapat dicuri, sedangkan harta benda mudah dicuri dan dapat lenyap." 
Kepada penanya keenam khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak bisa binasa, sedangkan harta kekayaan dapat lenyap dan habis karena masa dan usia." 

Kepada penanya ketujuh khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak ada batasnya, sedangkan harta benda ada batasnya dan dapat dihitung jumlahnya." 
Kepada penanya kedelapan khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu memberi dan memancarkan sinar kebaikan, menjernihkan pikiran dan hati serta menenangkan jiwa, sedangkan harta kekayaan pada umumnya dapat menggelapkan jiwa dan hati pemiliknya." 
Kepada penanya kesembilan khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia daripada harta, karena orang yang berilmu mencintai kebajikan dan sebutannya mulia seperti si 'Alim, dan sebutan mulia lainnya. Sedangkan, orang yang berharta bisa melarat dan lebih cenderung kepada sifat-sifat kikir dan bakhil." 


Dan kepada penanya kesepuluh khalifah menjawab: "Ilmu lebih mulia dan lebih utama daripada harta kekayaan, karena orang yang berilmu lebih mendorong untuk mencintai Allah. Sedangkan harta benda dapat membangkitkan rasa sombong, congkak dan takabur."
Seusai mendengarkan jawaban Khalifah Ali yang begitu cemerlang, kesepuluh orang kaum Khawarij itu berdecak kagum, karena satu pertanyaan dapat dijawab dengan sepuluh jawaban. Kemudian, mereka kembali kepada kaumnya dengan rasa puas, dan bertambah yakin bahwa Khalifah Ali benar-benar sebagai pintu gerbangnya ilmu.

Pendidikan Life Skills Solusi Efektif Atasi Pengangguran

Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen per tahun bukan saja merupakan lampu kuning bagi pemerintah, lantaran laju penduduk terus membengkak, tapi juga memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup aspek sosial, psikologis, dan bahkan politik. Apabila jumlah pengangguran dan setengah pengangguran cenderung meningkat, akan berpengaruh besar terhadap kondisi negara secara keseluruhan, antara lain meningkatnya jumlah penduduk miskin. 

Jika pada tahun 2005 lalu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik angkatan kerja menganggur 10,26 persen, namun pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. “Angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta,” kata Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) M Tri Sambodo. 

Menurut Tri Sambodo, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. “Ini artinya, ujarnya, semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan. 

Dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai skenario optimum yaitu 6,5 persen dengan tingkat serapan tenaga kerja hanya 218.518 orang untuk setiap pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka lapangan kerja tersedia hanya 1,4 juta orang. “Mereka yang tak terserap terpaksa menganggur dan menambah angka pengangguran,” kata Tri Sambodo. Memang, tambah dia, berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka pengangguran itu, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.

Lantas apa upaya warga bangsa ini, karena kian hari pertambahan jumlah angkatan kerja semakin bertambah dan pengangguaran pun terus menumpuk? Nampaknya kurang efektifnya pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan kesempatan kerja baru mengindikasikan perencanaan perekonomian yang dilakukan sepertinya masih di atas kertas. 

Salah satu upaya mengatasi pengangguran dengan mengarahkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya sebagai instrumen menciptakan kesempatan kerja baru, tapi juga melakukan restrukturisasi angkatan kerja. Pemikiran ini dilandasi asumsi bahwa dari segi kuantitas, sebenarnya jumlah kesempatan kerja yang ada saat ini sudah mencukupi. Artinya, ia bisa menampung hampir semua angkatan kerja. Namun, itu tidak terwujud karena kesempatan kerja yang sebenarnya mencukupi itu ternyata terdistribusi secara tidak merata, tidak sesuai dengan peruntukannya, dan karena proses shifting. 

Problem akan minimnya pengetahuan kebutuhan dunia kerja menyebabkan penyerapan lulusan pendidikan formal dan nonformal masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah menjalin kerja sama dengan dunia usaha untuk menyinkronkan program pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. 

"Sinkronisasi program pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja sangat mendesak. Upaya mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kerja harus dimulai sejak awal, sehingga pendidikan mampu menghasilkan tenaga siap kerja," kata Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harry Heriawan Saleh. 

Terkait dengan hal tersebut, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) tentang Keterpaduan Program Siap Kerja dan Pemahaman Hubungan Industrial bagi Siswa SMK atau Sederajat, Mahasiswa, dan Peserta Didik pada Satuan pendidikan Nonformal, masing-masing oleh Sekjen Depnakertrans, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Prof Suyanto, Phd serta Kadin Indonesia Anton Riyanto. 

Kesepakatan tersebut mencakup tiga hal. Pertama, pemahaman dinamika hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha; kebutuhan pasar kerja; dan pengenalan peraturan- peraturan ketenagakerjaan. 
Menurut Suyanto, MOU ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi lulusan program pendidikan formal dan nonformal. Apalagi pemerintah telah mencanangkan program three in one, yaitu pelatihan bersama, sertifikasi, dan penempatan. "Tujuannya, untuk memudahkan lulusan SMA dan SMK diterima di pasar kerja. Pada tahun 2007, kami memperkirakan ada 850.000 siswa SMK dan SMA yang lulus," ujar Suyanto. 

Pada hematnya keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk menghadapi kehidupan atau memberikan life skills pada peserta didik. Logikanya, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi pula peran yang dapat dimainkannya dalam kehidupan di masyarakat. 

Untuk menjawab tantangan tersebut, Depdiknas harus lebih menyempurnakan kurikulum agar dapat memberikan life skills pada siswa. Setidaknya sekitar 70 persen siswa membutuhkan pendidikan keahlian yang dapat dipergunakan untuk hidup. Sebab, dari total siswa yang bersekolah sejak SD hingga SLTA, hanya sekitar 30 persen yang akhirnya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan persentase terbesar langsung harus terjun ke masyarakat. 

Konsep life skills dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya sudah ada konsep broad-based curriculum yang diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi secara luas. Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat. 

Pengertian life skills sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya, bukan sekadar keterampilan, tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya sendiri. Namun, penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik, seperti fisika, kimia, dan biologi. 

Program ini memang baik, tetapi sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup. 

Untuk mengadopsi life skills ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Jakarta, tentu akan berbeda life skills yang dibutuhkan dengan mereka yang hidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, pertukangan tidak banyak mendapatkan tempat. 

Yang jelas, penyelenggara pendidikan nasional, dalam hal ini Depdiknas harus bekerja lebih keras agar dapat memberikan pendidikan keahlian yang bisa dipergunakan untuk hidup pada peserta didik. Esensi pendidikan harus dapat memberi kemampuan untuk menghidupi diri yang bersangkutan, mengembangkan kehidupan yang lebih bermakna, dan kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan. 
"Paling tidak, karakter pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan harus dapat memberikan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri itu sejajar dengan gagasan Depdiknas untuk memasukkan life skills ke dalam pendidikan," ujar Prof Muchtar Buchori, tokoh pendidikan. 

Pendidikan nonformal, menurut pendapatnya, sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia, antara lain, besarnya angka pengangguran akibat kurang terampil. Salah satu langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat terdidik dan sejahtera dalam bidang pendidikan nonformal, program pendidikan life skills. Life skills ini pun menjadi primadona bagi PLS, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat. 

Program ini bertujuan meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga lulusannya menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian itu berbasis potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan maupun perkotaan, serta berorientasi pada pasar lokal, nasional, dan global.Dengan demikian, katanya, kualitas, produktivitas dan pendapatan masyarakat kelompok sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat. 

Pemberian ketrampilan life skill pada kalangan remaja lulus sekolah SMU/SMK/MA, terlebih yang putus sekolah penting diberikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kebanyakan dari mereka belum siap kerja, apalagi untuk siap hidup. Mereka perlu tambahan bekal kecapakan hidup, dan Yayasan Dharmais bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan kegiatan pelatihan life skills. 

Pembekalan ketrampilan tersebut dikemas dalam program Pesantren Singkat Pelatihan Usaha Ekonomi Produktif (PSPUEP). Selain memberi berbagai ketrampilan juga diperkuat dengan pembekalan mental dan rohani. “Tujuannya agar kelak para santri putra dan putri selain siap menjadi SDM siap pakai tapi juga memiliki akhlak dan bermoral,” kata Ngatman dari Yayasan Dharmais. 

Kegiatan ini, jelas Ngatman, dulunya dilakukan Yayasan Dharmais guna menyiapkan sekaligus menambah ketrampilan para transmigran ini, diikuti para remaja yang tidak bisa melanjuktan sekolahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan ekonomi. Melalui pelatihan singkat ini, mereka dilatih untuk berinovasi, berkreasi, berprestasi, serta belajar bersosialisasi guna membangun kepercayaan baik kepada orang tua, sesama teman maupun masyarakat. 

PSPUEP dilakukan di Bogor (Jabar), Kulon Progo (DI Yogyakarta), Magetan dan Bondowoso (Jatim), Kutai Timur (Kaltim), Jakarta Barat (DKI Jakarta). Pelatihan di enam tempat tersebut diikuti 800 orang peserta. PSPUEP Cimandala, Bogor menyerap 180 orang (80 putra dan 80 putri), Pengasih, Kulon Progo diikuti 160 orang (83 putra dan 77 putri), Takeran, Magetan sebanyak 160 orang (80 putra dan 80 putri), Pondok Pesantren Al Ishlah Bondowoso diikuti 80 orang (40 putra dan 40 putri), Pondok Pesantren Hidayatullah Sanggatta, Kutai Timur merekrut 80 orang peserta putra, dan di Pesantren Al kamal, Jakbar diikuti 160 orang (80 putra dan 80 putri). 

Jenis ketrampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, pembuatan bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, dan otomotif. 

“Melalui kegiatan yang positif dan membangun melalui aneka pilihan kegiatan tersebut remaja potensial tersebut bisa terbekali, tidak hanya sebatas pada pengetahuan saja, tetapi juga ketrampilan dan sikap kepribadian yang baik dan luhur. Kegiatan ini juga merupakan bukti dari tanggung jawab moral dari yayasan, ” kata Ngatman lagi. 

Jika Yayasan Dharmais memusatkan kegiatan pelatihan life skils di “pesantren-pesantren”, sedangkan Yayasan Damandiri bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi negeri dan swasta, Sekolah Menengah Atas dan Pemerintah Daerah. Untuk wilayah timur yang dikoordinasikan meliputi Provinsi (Prov) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali melalui LIPM (Lembaga Ilmu dan Pengabdian Masyarakat) Pascasarjana Universitas Airlangga. Untuk wilayah barat meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu dengan kooedinator Yayasan INDRA bersama P2SDM IPB (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Institut Pertanian Bogor). 

“Pada tahun 2006 koordinator berdasarkan kesepatakan antara Wakil Ketua I Yayasan Damandiri dengan Rektor Undip Semarang wilayah tengah dilimpahkan kepada LPM Undip, yang meliputi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta,” kata Dr Rohadi Haryanto, MSc, Asisten Administratur Bidang Program Khusus Yayasan Damandiri. 

pelatihan life skills model Yayasan Damandiri menekankan pada pembinaan kewirausahaan kepada siswa SMA dan masyarakat sekitar kampus. “Program pengembangan SDM ini selain ditujukan untuk meningkatkan mutu akademis juga kepada para siswa terutama yang tidak akan melanjutkan kuliah dipersiapkan memiliki life skill, sehingga setelah lulus dapat melakukan usaha mandiri,” papar Rohadi. 

Latihan untuk siswa, tambahnya, dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian materi pelajaran ekstra kurikuler. Pelaksanaannya dapat diberikan di kelas atau laboratorium dengan mendatangkan tenaga pengajar atau pelatih yang betul-betul mengusai bidangnya. Atau mengirim siswa ke tempat-tempat kursus atau mengikuti magang di perusahaan, pabrik amupun tempat kerja lainnya. 

“Untuk pelaksanaannya Pimpinan sekolah melakukan pemilihan 20 orang siswa sebagai calon yang akan mengikuti pelatihan berdasarkan kriteria yang ditetapkan, seperti anak keluarga tidak mampu, sudah menduduki kelas 2 atau 3, tidak akan melanjutkan kuliah dan sebagian besar adalah perempuan,” terang Rohadi. 

Sedangkan untuk kegiatan pengembangan kewirausahaan baik yang dilakukan terhadap siswa maupun masyarakat umum di sekitar kampus dengan melibatkan para mahasiswa yang telah duduk di semester VII. 

Nampaknya dalam mengatasi masalah pengangguran mempengaruhi sisi supply dan demand tenaga kerja, adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Pada sisi demand, perlu diupayakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap tenaga kerja. Pada sisi supply, perlu dihambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada elemen laju pertumbuhan angkatan kerja, terkait di dalamnya soal laju pertumbuhan penduduk. Maka, pada sisi supply, hal yang perlu dilakukan adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja, memang ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
SITUS DIREKTORAT PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN NONFORMAL 

Selasa, 20 Agustus 2013

Demokarsi Untuk Kesejahteraan Rakyat

pan.or.id – jakarta – Konsolidasi demokrasi Indonesia melelahkan, tetapi masyarakat Indonesia harus percaya bahwa ini adalah sistem nilai terbaik yang pernah ditemukan manusia dalam bernegara, sebelum nantinya ditemukan sistem lain yang lebih baik.
Dalam diskusi peringatan 15 tahun reformasi yang dilaksanakan Senin, 28 Mei 2013, Komandan Ekonomi Indonesia Hatta Rajasa berkali-kali mengingatkan mengenai pentingnya memperhatikan kesejahteraan rakyat. Yang harus dilakukan adalah menyehatkan parpol, jangan sampai first bestsecond best berada di luar, sehingga yang mengisi parpol third best, atau medioker, ini berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Kalau tidak terjadi balance antara parpol kuat dan sehat dengan critical mass, demokrasi Indonesia tidak akan matang.
Tugas meyakinkan partai politik inilah yang harus diperkuat, karena partai politiklah yang akan mengisi supra infrastruktur di tanah air ini, kalau itu tidak di benahi, akan berakibat langsung pada reformasi ekonomi, karena demokrasi akan di invasi kekuatan oligarki baru. Akan terjadi proses memindahkan otoritas kepada pemilik modal atas nama demokrasi, dan ini berbahaya. Tidak perlu ditutupi pilkada ada pemodalnya, yang berakibat pada beban APBD, yang mengurangi hak rakyat menerima pelayanan publik.
Reformasi Indonesia dibidang ekonomi kuncinya adalah meningkatkan daya tahan dan daya saing bangsa ini, kemandirian harus dibaca pada sistem global bukan pada diri sendiri, tapi bagaimana meningkatkan daya saing Bangsa Indonesia.
Harus ada perubahan paradigma membenahi ekonomi Indonesia, haram hukumnya Menjual barang mentah, karena akan membuat bangsa ini menjadi bangsa bodoh sebodoh bodohnya. Bisa dilihat saat ini, Minat masyarakat menjadi insinyur menurun, karena tidak ada lagi industri, semua menjadi pedagang, sedangkan sektor industri dapat menciptakan inovasi-inovasi yang sejalan dengan pemikiran Hatta mengenai MP3EI, dengan pandangan “not business as usual”, akan ada ide kreatif baru yang mampu mengangkat nama Indonesia dan mensejahterakan Indonesia.
Persoalan yang paling mendasar, harus ada Reformasi agraria, karena bagaimana masyarakat bisa disebut sejahtera kalau tidak memiliki tanah, kemudian reformasi pendidikan, perlu ada paradigma pendidikan yang membuat kaum muda bersemangat untuk menciptakan ide baru menjadi masyarakat pencipta bukan peniru, dan reformasi tenaga kerja, yang akan menstabilkan angkatan kerja, sekaligus memperbaiki sistem tenaga kerja yang ada di Indonesia, sehingga reward and punishment akan lebih terukur dalam dunia kerja.
Jika ini terlaksana, Indonesia akan menjadi negara yang mandiri secara ekonomi, bahkan bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2025. (Kesimpulan dari apa yang disampaikan Hatta Rajasa, pada Diskusi Peringatan 15 Tahun Reformasi di DPP PAN). (HF)

Sabtu, 03 Agustus 2013

Makalah Profesi Pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN
I. PROFESI PENDIDIKAN
a.      Pengertian profesi pendidikan
Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting bagi kehidupan manusia, pendidikan dapat mendorong peningkatan kualitas manusia dalam bentuk meningkatnya kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Masalah yang dihadapi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan sangat kompleks, banyak faktor yang harus dipertimbangkan karena pengaruhnya pada kehidupan manusia tidak dapat diabaikan, yang jelas disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia