Tingkat
pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen per tahun bukan saja merupakan lampu
kuning bagi pemerintah, lantaran laju penduduk terus membengkak, tapi juga
memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan
kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem
yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas
pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas,
mencakup aspek sosial, psikologis, dan bahkan politik. Apabila jumlah
pengangguran dan setengah pengangguran cenderung meningkat, akan berpengaruh
besar terhadap kondisi negara secara keseluruhan, antara lain meningkatnya
jumlah penduduk miskin.
Jika pada tahun
2005 lalu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik angkatan kerja menganggur
10,26 persen, namun pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka diperkirakan
bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan
mencapai 45,7 juta jiwa. “Angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru,
menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta,” kata Koordinator
Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) M Tri Sambodo.
Menurut Tri
Sambodo, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak
tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. “Ini
artinya, ujarnya, semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator
meningkatnya angka kemiskinan.
Dengan
mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai skenario optimum yaitu 6,5 persen
dengan tingkat serapan tenaga kerja hanya 218.518 orang untuk setiap
pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka lapangan kerja tersedia hanya 1,4
juta orang. “Mereka yang tak terserap terpaksa menganggur dan menambah angka
pengangguran,” kata Tri Sambodo. Memang, tambah dia, berbagai upaya telah
dilakukan untuk menurunkan angka pengangguran itu, tapi hasilnya masih jauh
dari yang diharapkan.
Lantas apa upaya
warga bangsa ini, karena kian hari pertambahan jumlah angkatan kerja semakin
bertambah dan pengangguaran pun terus menumpuk? Nampaknya kurang efektifnya
pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan kesempatan kerja baru mengindikasikan
perencanaan perekonomian yang dilakukan sepertinya masih di atas kertas.
Salah satu upaya
mengatasi pengangguran dengan mengarahkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya
sebagai instrumen menciptakan kesempatan kerja baru, tapi juga melakukan
restrukturisasi angkatan kerja. Pemikiran ini dilandasi asumsi bahwa dari segi
kuantitas, sebenarnya jumlah kesempatan kerja yang ada saat ini sudah
mencukupi. Artinya, ia bisa menampung hampir semua angkatan kerja. Namun, itu
tidak terwujud karena kesempatan kerja yang sebenarnya mencukupi itu ternyata
terdistribusi secara tidak merata, tidak sesuai dengan peruntukannya, dan
karena proses shifting.
Problem akan
minimnya pengetahuan kebutuhan dunia kerja menyebabkan penyerapan lulusan
pendidikan formal dan nonformal masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah
menjalin kerja sama dengan dunia usaha untuk menyinkronkan program pendidikan
dan kebutuhan pasar kerja.
"Sinkronisasi
program pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja sangat mendesak. Upaya
mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kerja harus dimulai sejak awal,
sehingga pendidikan mampu menghasilkan tenaga siap kerja," kata Sekjen
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harry Heriawan Saleh.
Terkait dengan hal
tersebut, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) tentang Keterpaduan Program
Siap Kerja dan Pemahaman Hubungan Industrial bagi Siswa SMK atau Sederajat,
Mahasiswa, dan Peserta Didik pada Satuan pendidikan Nonformal, masing-masing
oleh Sekjen Depnakertrans, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Prof
Suyanto, Phd serta Kadin Indonesia Anton Riyanto.
Kesepakatan
tersebut mencakup tiga hal. Pertama, pemahaman dinamika hubungan industrial
antara pekerja dan pengusaha; kebutuhan pasar kerja; dan pengenalan peraturan-
peraturan ketenagakerjaan.
Menurut Suyanto,
MOU ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi lulusan program
pendidikan formal dan nonformal. Apalagi pemerintah telah mencanangkan program
three in one, yaitu pelatihan bersama, sertifikasi, dan penempatan.
"Tujuannya, untuk memudahkan lulusan SMA dan SMK diterima di pasar kerja.
Pada tahun 2007, kami memperkirakan ada 850.000 siswa SMK dan SMA yang
lulus," ujar Suyanto.
Pada hematnya
keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya
menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu, sistem pendidikan
yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk menghadapi
kehidupan atau memberikan life skills pada peserta didik. Logikanya, makin
tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi pula peran yang dapat
dimainkannya dalam kehidupan di masyarakat.
Untuk menjawab
tantangan tersebut, Depdiknas harus lebih menyempurnakan kurikulum agar dapat
memberikan life skills pada siswa. Setidaknya sekitar 70 persen siswa
membutuhkan pendidikan keahlian yang dapat dipergunakan untuk hidup. Sebab,
dari total siswa yang bersekolah sejak SD hingga SLTA, hanya sekitar 30 persen
yang akhirnya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan
persentase terbesar langsung harus terjun ke masyarakat.
Konsep life skills
dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya sudah ada konsep
broad-based curriculum yang diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi
secara luas. Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan
oleh masyarakat.
Pengertian life
skills sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri. Namun,
persoalannya, bukan sekadar keterampilan, tetapi bagaimana caranya memberi
pendidikan yang betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus
dirinya sendiri. Namun, penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi pada
disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik, seperti fisika,
kimia, dan biologi.
Program ini memang
baik, tetapi sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa
yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu seharusnya life
oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan
anak untuk hidup.
Untuk mengadopsi
life skills ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada
daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Jakarta, tentu akan berbeda life skills
yang dibutuhkan dengan mereka yang hidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak
terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, pertukangan tidak banyak
mendapatkan tempat.
Yang jelas,
penyelenggara pendidikan nasional, dalam hal ini Depdiknas harus bekerja lebih
keras agar dapat memberikan pendidikan keahlian yang bisa dipergunakan untuk
hidup pada peserta didik. Esensi pendidikan harus dapat memberi kemampuan untuk
menghidupi diri yang bersangkutan, mengembangkan kehidupan yang lebih bermakna,
dan kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.
"Paling tidak,
karakter pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan harus dapat memberikan
kemampuan untuk menghidupi diri sendiri itu sejajar dengan gagasan Depdiknas
untuk memasukkan life skills ke dalam pendidikan," ujar Prof Muchtar
Buchori, tokoh pendidikan.
Pendidikan
nonformal, menurut pendapatnya, sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai
permasalahan yang melilit bangsa Indonesia, antara lain, besarnya angka
pengangguran akibat kurang terampil. Salah satu langkah yang amat penting dalam
mewujudkan masyarakat terdidik dan sejahtera dalam bidang pendidikan nonformal,
program pendidikan life skills. Life skills ini pun menjadi primadona bagi PLS,
karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan
hidup masyarakat.
Program ini
bertujuan meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga
lulusannya menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian itu
berbasis potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan maupun
perkotaan, serta berorientasi pada pasar lokal, nasional, dan global.Dengan
demikian, katanya, kualitas, produktivitas dan pendapatan masyarakat kelompok
sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat.
Pemberian
ketrampilan life skill pada kalangan remaja lulus sekolah SMU/SMK/MA, terlebih
yang putus sekolah penting diberikan bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM). Kebanyakan dari mereka belum siap kerja, apalagi untuk siap
hidup. Mereka perlu tambahan bekal kecapakan hidup, dan Yayasan Dharmais
bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan kegiatan pelatihan life
skills.
Pembekalan
ketrampilan tersebut dikemas dalam program Pesantren Singkat Pelatihan Usaha
Ekonomi Produktif (PSPUEP). Selain memberi berbagai ketrampilan juga diperkuat
dengan pembekalan mental dan rohani. “Tujuannya agar kelak para santri putra
dan putri selain siap menjadi SDM siap pakai tapi juga memiliki akhlak dan
bermoral,” kata Ngatman dari Yayasan Dharmais.
Kegiatan ini, jelas
Ngatman, dulunya dilakukan Yayasan Dharmais guna menyiapkan sekaligus menambah
ketrampilan para transmigran ini, diikuti para remaja yang tidak bisa
melanjuktan sekolahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan
ekonomi. Melalui pelatihan singkat ini, mereka dilatih untuk berinovasi,
berkreasi, berprestasi, serta belajar bersosialisasi guna membangun kepercayaan
baik kepada orang tua, sesama teman maupun masyarakat.
PSPUEP dilakukan di
Bogor (Jabar), Kulon Progo (DI Yogyakarta), Magetan dan Bondowoso (Jatim),
Kutai Timur (Kaltim), Jakarta Barat (DKI Jakarta). Pelatihan di enam tempat
tersebut diikuti 800 orang peserta. PSPUEP Cimandala, Bogor menyerap 180 orang
(80 putra dan 80 putri), Pengasih, Kulon Progo diikuti 160 orang (83 putra dan
77 putri), Takeran, Magetan sebanyak 160 orang (80 putra dan 80 putri), Pondok
Pesantren Al Ishlah Bondowoso diikuti 80 orang (40 putra dan 40 putri), Pondok
Pesantren Hidayatullah Sanggatta, Kutai Timur merekrut 80 orang peserta putra,
dan di Pesantren Al kamal, Jakbar diikuti 160 orang (80 putra dan 80 putri).
Jenis ketrampilan
yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan
bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut kelapa, nata de
coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, pembuatan bakso, pembuatan saos
tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan meubel, pembuatan con block,
agrobisnis, mesin pendingin, dan otomotif.
“Melalui kegiatan
yang positif dan membangun melalui aneka pilihan kegiatan tersebut remaja
potensial tersebut bisa terbekali, tidak hanya sebatas pada pengetahuan saja,
tetapi juga ketrampilan dan sikap kepribadian yang baik dan luhur. Kegiatan ini
juga merupakan bukti dari tanggung jawab moral dari yayasan, ” kata Ngatman
lagi.
Jika Yayasan
Dharmais memusatkan kegiatan pelatihan life skils di “pesantren-pesantren”,
sedangkan Yayasan Damandiri bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi negeri
dan swasta, Sekolah Menengah Atas dan Pemerintah Daerah. Untuk wilayah timur
yang dikoordinasikan meliputi Provinsi (Prov) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali
melalui LIPM (Lembaga Ilmu dan Pengabdian Masyarakat) Pascasarjana Universitas
Airlangga. Untuk wilayah barat meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten,
Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu dengan kooedinator
Yayasan INDRA bersama P2SDM IPB (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia
Institut Pertanian Bogor).
“Pada tahun 2006
koordinator berdasarkan kesepatakan antara Wakil Ketua I Yayasan Damandiri
dengan Rektor Undip Semarang wilayah tengah dilimpahkan kepada LPM Undip, yang
meliputi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta,” kata Dr Rohadi Haryanto, MSc, Asisten
Administratur Bidang Program Khusus Yayasan Damandiri.
pelatihan life
skills model Yayasan Damandiri menekankan pada pembinaan kewirausahaan kepada
siswa SMA dan masyarakat sekitar kampus. “Program pengembangan SDM ini selain
ditujukan untuk meningkatkan mutu akademis juga kepada para siswa terutama yang
tidak akan melanjutkan kuliah dipersiapkan memiliki life skill, sehingga
setelah lulus dapat melakukan usaha mandiri,” papar Rohadi.
Latihan untuk
siswa, tambahnya, dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian materi pelajaran
ekstra kurikuler. Pelaksanaannya dapat diberikan di kelas atau laboratorium
dengan mendatangkan tenaga pengajar atau pelatih yang betul-betul mengusai
bidangnya. Atau mengirim siswa ke tempat-tempat kursus atau mengikuti magang di
perusahaan, pabrik amupun tempat kerja lainnya.
“Untuk
pelaksanaannya Pimpinan sekolah melakukan pemilihan 20 orang siswa sebagai
calon yang akan mengikuti pelatihan berdasarkan kriteria yang ditetapkan,
seperti anak keluarga tidak mampu, sudah menduduki kelas 2 atau 3, tidak akan
melanjutkan kuliah dan sebagian besar adalah perempuan,” terang Rohadi.
Sedangkan untuk
kegiatan pengembangan kewirausahaan baik yang dilakukan terhadap siswa maupun
masyarakat umum di sekitar kampus dengan melibatkan para mahasiswa yang telah
duduk di semester VII.
Nampaknya dalam
mengatasi masalah pengangguran mempengaruhi sisi supply dan demand tenaga
kerja, adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Pada sisi demand, perlu
diupayakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap tenaga kerja.
Pada sisi supply, perlu dihambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada elemen
laju pertumbuhan angkatan kerja, terkait di dalamnya soal laju pertumbuhan
penduduk. Maka, pada sisi supply, hal yang perlu dilakukan adalah mengendalikan
laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja, memang
ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
SITUS DIREKTORAT
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN NONFORMAL