Minggu, 22 September 2013

PAN: Agar Sesama Caleg Akur Perlu Dibuat Zona Menggarap Konstituen

Metrotvnews.com, Jakarta: Banyak calon anggota legislatif yang seolah-olah tidak lagi menjadi bagian dari partai politik, setelah namanya masuk ke dalam daftar calon tetap (DCT). Parpol hanya dianggap sebagai kendaraan politik semata untuk mencapai tujuan pribadi.

Walhasil, kompetisi antara caleg sekarang ini mulai bergeser didalam internal parpol. Caleg sesama partai yang memiliki dapil yang sama mulai saling menjatuhkan satu dengan lainnya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Teguh Juwarno mengatakan, kompetisi internal caleg didapil yang sama bisa menjadi bumerang.

"Bila caleg dalam parpol saling berantem justru malah bisa jadi bumerang, peroleahan suara di daerah tersebut bisa berkurang atau hilang," tukas Teguh saat dihubungi di Jakarta, Selasa (17/9).

Ia mengatakan, selayaknya caleg sesama partai didapil yang sama bekerjasama. "Yang harus dilakukan justru sinergi antar caleg dalam satu dapil, untuk memastikan perolah kursi atau suara bagi partai di dapil tersebut," kata anggota Komisi V DPR RI tersebut.

Strategi yang paling memungkinkan dan tepat adalah dengan membagi zona untuk menggarap konstituen. "Sehingga tidak tubrukan," ucap Teguh.

Partai, lanjutnya, juga harus membuat aturan main dan kode etik terkait kompetisi internal caleg di dapil. Namun, hal tersebut kembali lagi pada individu caleg masing-masing. "Kuncinya harus ada prasangka baik antar caleg," tukas Teguh. (Fox)

Editor: Irvan Sihombing

Kamis, 29 Agustus 2013

Kandidat Doktor dari Kalangan Yatim

Menjadi anak yatim sejak usia dua tahun memiliki impian bersekolah tentu tidak mudah. Apalagi sampai memasuki perguruan tinggi bahkan akhirnya menjadi kandidat sebagai doktor. Musriadi Aswad MPd ternyata sedikit dari “penyandang yatim” yang mendapatkan karunia tersebut. 
 
Di usianya yang ke-37 tahun, Musriadi kini kuliah S3 di Universitas Negeri Medan dan tidak lama lagi akan menyandang gelar doktor manajemen pendidikan. Lika-liku dalam mengejar cita-cita menjadi dosen harus dilaluinya dengan prihatin. Keterbatasan biaya membuatnya menjadi pekerja di bawah umur. Secara ringkas, setelah menamatkan jenjang sekolah menengah atas pada tahun 1994, pendidikannya terhenti selama 7 tahun, karena alasan klasik, kesulitan biaya. 
 
Berbagai profesi ia lakukan untuk mengisi kevakuman menimba ilmu. Bekerja serabutan sebagai pekerja bangunan, berjualan ayam potong, kernet angkutan umum atau pun menjadi penjahit sepatu, dilakoninya untuk memenuhi kebutuhannya bersama ibunya, Salma Insya, pekerjaan apapun yang halal akan dikerjakannya. Dengan berhemat, maka uang pemasukan yang diterima juga dapat dialirkan untuk biaya pendidikan adik-adiknya. Sebagian lagi uang lebih ditabungnya. 
 
Cita-citanya untuk kuliah terus menggoda keinginannya. Tahun 2001, suami dari Yenni Ulfiana SpdI ini terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh. Selama 4 tahun belajar di kampus tersebut, gelar sarjana pendidikan pun diraihnya. Tidak terlena lama dengan sarjana S1nya, kembali ayah dari Muhammad Rayyan (6 th) dan Jihan Khansa (1th) ini, peluang guna melanjutkan pendidikan magister administrasi pendidikan Unsyiah pun tidak disia-siakan. 
 
Bermodalkan beasiswa yang diperoleh dari kampusnya tersebut, melempangkannya meraih title master pendidikan dengan waktu tempuh terbilang singkat. “Saya selalu berdoa agar pendidikan S2 dapat selesai tepat waktu. Alhamdullah master pendidikan dapat dikejar dalam waktu 18 bulan”, katanya. 
 
Dan akhirnya, Ketua DPD Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP3) Aceh kembali mendapatkan beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan jenjang S3 jurusan manajemen pendidikan Universitas Negeri Medan, kali ini Sekretaris umum Forum Mahasiswa Magister Administrasi Pendidikan Unsyiah merasakan rahmat Illahi begitu berlimpah. 
 
Sebagai anak yatim, filosopi bekerja keras dan jujur sejalan dengan motto dari Wakil Ketua Diklat KNPI Banda Aceh --hidup adalah perjuangan dan dalam berjuang dimulai dari mimpi dengan bekerja keras—ternyata mampu mengubah status dari level anak bawah menjadi “orang berhasil”. 
 
Kini, Musriadi tengah mengarah untuk menyusun disertasi dengan judul Kepemimpinan dan Manajemen Kepala Sekolah. Bila tidak ada hambatan, maka Gelar Doktor akan disandangnya dua tahun mendatang. Mks/Son

Bongkar Pendidikan Tinggi Kita


Tulisan Hendra Gunawan (Kompas, 19/8) sangat menarik dan patut disimak semua insan yang terlibat dalam kegiatan pendidikan tinggi.

Hendra mengupas fakta kerdilnya perguruan tinggi (PT) kita dibandingkan dengan PT di negara jiran sekalipun; jangan dulu dibandingkan dengan PT di negara maju. Rayap-rayap kecil di bawah tanah yang sulit terlihat telah menggerogoti akar PT kita sehingga sulit tumbuh meski sudah dirawat dengan perhatian penuh dan penanganan khusus.

Beberapa PT kita sudah berusia lebih dari 50 tahun, tetapi pertumbuhan mutunya tak normal. Karena PT bukanlah pohon yang sembarang dapat ditebang dibuang begitu saja, satu-satunya jalan, ya, membongkarnya.

Jelas dari paparan Hendra, solusi harus radikal, sampai ke akar. Jika tidak, program insentif, hibah, akreditasi, dan sertifikasi tak akan pernah menumbuhkan pohon PT kita sebagaimana pohon di negara tetangga atau di negara maju. Hendra memaparkan delapan masalah. Saya hanya membahas tiga yang urgen: sistem, kualitas dosen, dan dana yang bermuara pada riset di PT.

Benar bahwa semuanya berawal dari sistem perguruan tinggi kita yang kurang/tidak berbasis merit. Sistem perekrutan dosen, sistem penilaian kinerja, hingga sistem kepangkatan kita terlalu manusiawi: beberapa dosen PTN masih tetap menikmati gaji meski hanya datang ke kampus satu-dua kali seminggu. Tak perlu mati-matian riset, asal ada satu-dua di antara berkas yang diajukan terindeks Scopus, seorang dosen dapat menjadi profesor. Di negara maju betapa sulit memperoleh posisi profesor di PT sana.

Mental amtenar

Ada benarnya bahwa kualitas dosen kita rendah karena sistem perekrutan dosen kita tak pernah diperbaiki sejak tempo dulu. Kualitas dosen PTN seharusnya lebih tinggi dari yang lain, tetapi mental amtenar sudah menjelma menjadi salah satu rayap tadi. Meski mengamini ihwal ini, saya masih yakin bahwa cukup banyak dosen kita berkualitas mumpuni untuk bersaing di dunia internasional. Buktinya, banyak dosen kita yang menamatkan S-3 di PT papan atas negara maju dengan hasil riset yang bahkan mencengangkan koleganya di sana. Sayangnya, pembusukan akademis selama puluhan tahun di Tanah Air telah menurunkan kualitas kebanyakan mereka hingga hampir mencapai titik nadir.

Cerita tentang dana riset PT membosankan, tetapi tetap mengherankan mengapa hingga kini pemerintah tak berambisi berinvestasi besar-besaran di PT? Mestinya pemerintah berani karena, jika tidak, PT kita akan makin jauh ketinggalan dari PT di Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam (”Antara Langit dan Bumi”, Kompas 24 November 2011).

Pemerintah harus berupaya memberi otonomi seluas-luasnya kepada PTN meski bagi sekelompok orang di republik ini, otonomi sudah masuk barang haram karena diterjemahkan dengan kamus yang tak tepat. Sebenarnya tanpa otonomi, PTN akan terus dibebani para amtenar yang menuntut lebih banyak hak dibandingkan dengan menunaikan kewajiban. Dengan otonomi, PTN ditantang membuat sendiri sistem yang sehat, berbasis merit yang dituntut Hendra, yang tidak mengizinkan hidupnya rayap-rayap tadi.

PTN, misalnya, dapat langsung menghukum dosen yang malas atau memberi jabatan profesor untuk yang berprestasi tanpa harus menunggu izin pemerintah. Sistem berbasis merit ini rasanya sulit diciptakan secara nasional karena disparitas mutu PT di Tanah Air yang sangat lebar.

Harus diakui bahwa bukan hanya PTS yang melakukan bisnis pendidikan. PTN pun turut mengais rezeki. Meski bisnis ini halal selama tidak menzalimi orang, kegiatan ini harus dikurangi agar PT mulai berorientasi kepada riset. Tingginya kegiatan pendidikan di PTN yang terlihat dengan tingginya aktivitas para dosen, baik dalam kelas maupun dalam pembuatan perangkat pendidikan, jelas mengindikasikan kelalaian pada riset. Jumlah mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang berimbang merupakan syarat mutlak perbaikan kualitas PT, asalkan program pascasarjana tersebut berbasis riset.

Tidak ada pilihan lain, kecuali dosen yang direkrut adalah lulusan terbaik yang ada. Dosen yang direkrut haruslah berjenjang S-3 sehingga dapat langsung masuk ke dunia riset di kelompoknya. Apabila masih S-1 atau S-2, kemungkinan yang bersangkutan pindah bidang sewaktu studi S-3 sehingga menyulitkan pengembangan kelompok riset yang sudah ada.

Dosen yang periset

Perekrutan harus langsung melibatkan departemen bahkan kelompok riset karena hanya mereka yang lebih tahu bidang dan dengan kualifikasi apa seorang pelamar bisa diterima. Harus ditekankan, seorang dosen adalah juga periset sehingga pelamar yang tak berbakat riset hanya akan merepotkan PT di belakang hari. Jadi, perekrutan melalui sistem pegawai negeri seperti yang berlaku saat ini jelas tak tepat. Di sini otonomi PTN mutlak perlu.

Profesor yang sebenarnya adalah profesor paripurna yang sudah didefinisikan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 3 dan 4). Meski memiliki ribuan kum, profesor yang ada saat ini belum tentu profesor sebenarnya dan mungkin harus direposisi ke jabatan profesor asosiasi atau madya.

Untuk mendapatkan jabatan paripurna, profesor harus dinilai ulang atau harus melakukan penelitian lebih giat lagi untuk memenuhi tuntutan ayat 3 yang mensyaratkan pengakuan internasional sehingga posisinya jelas setara dengan posisi profesor di negara maju dan dampaknya jelas signifikan dalam menaikkan kualitas PT.

Profesor adalah jabatan, bukan hadiah atau gelar. Yang berhak mendapat jabatan itu ialah mereka yang mampu mengemban tugas jabatan. Pikiran bahwa profesor adalah hak bagi mereka yang telah memiliki sejumlah kum tertentu jelas akan terus mengerdilkan PT.

Pada akhirnya rekomendasi di atas tak dapat dijalankan jika tak ada komitmen pemerintah berinvestasi besar-besaran dalam dunia riset PT. Riset di PT butuh dana sangat besar. Tak semua menghasilkan produk hilir yang langsung dinikmati masyarakat.

Memanggil lulusan terbaik jadi dosen tak mudah jika insentif dan fasilitas yang ditawarkan tak menarik. Namun, dengan PDB lebih dari Rp 1.500 triliun rasanya tak mustahil mewujudkan hal ini. Lagi pula, apa mungkin kita dapat memancing ikan paus dengan umpan ikan teri seperti yang selama ini kita lakukan?

Oleh: Terry Mart
Terry Mart, Pengajar Fisika FMIPA UI

PAN Kota Banda Aceh Gelar Pengkaderan

WartaAceh.com | Banda Aceh - Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional Kota Banda Aceh akan menggelar Latihan Kader Amanat Dasar (LKAD) Tingkat I.  Pelatihan ini  direncanakan akan berlangsung mulai 7 sampai 9 September  2012 di Banda Aceh dan  diikuti 100 peserta perwakilan DPC PAN seluruh kecamatan Kota Banda Aceh, Aceh Besar dan kota Sabang.

Menurut Ketua Badan Pembinaan dan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPD PAN Kota Banda Aceh, Musriadi Aswad MPd, kegiatan tersebut diharapkan mempersiapkan kader partai paham tentang dasar dasar kepartaian sertai ideologi partai.
“Pembentukan karakter dan milintasi kader partai adapun tujuan dari LKAD ini membangun kader yang menegaskan ideologi PAN dan mampu menjalankan visi dan misi dan platform partai,” ungkap Musriadi Aswad dalam rilis yang diterima WartaAceh.com, Jumat (31/8/2012).
Lebih lanjut ia mengutarakan, bahwa  membangun kemampuan kader dalam berorganisasi dengan manajemen profesional, membekali tehnik-tehnik kepemimpinan kader agar mampu mengelola dirinya sendiri dan konstituen di lingkungannya serta membekali nilai nilai PAN kepada kader agar mampu menjalankan tugas sebagai kader secara efektif dan amanah.
Sementara itu Ketua DPD PAN Kota Banda Aceh Drs H K Zainal Arifin menjelaskan pemateri dan instruktur langsung dari badan pengkaderan DPP PAN. Adapun materi pada LKAD yaitu sejarah PAN, ideologi PAN, platform dan AD/ART PAN, leadership dan team building, teknik persidangan, program aksi kader dan undang undang pemilu.
“Latihan Kader Amanat Dasar selain diikuti oleh kader dan simpatisan partai, masyarakat luas juga diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut, dengan cara mendaftar di sekretariat DPD PAN Kota Banda Aceh jalan Gabus nomor 50 Lamprit Banda Aceh,” terang  Zainal Arifin.
Kegiatan pengkaderan itu nantinya akan dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat Kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat pusat.[]
Reporter: Deddy Satria 

BERMULA DARI KERJA KERAS

“Berangkat dari status anak yatim pada usia 2 tahun. Setelah menyelesaikan SMA tahun 1994, karena tiada biaya, 7 tahun ia menjadi pengangguran sambil bekerja serabutan mulai dari pekerja bangunan sampai menjadi pedagang ayam potong di Ulee Kareng Banda Aceh. Baru kemudian pada tahun 2001 atas dorongan salah seorang Kepala Desa di Ulee Kareng ia melanjutkan studi sampai S3”


Hidup adalah perjuangan, dalam berjuang harus dimulai dari mimpi dan kerja keras. Tak terkecuali bagi Musriadi Bin Aswad. Lelaki kelahiran Ilie Ulee Kareng Banda Aceh, 25 Agustus 1976, tak menyangka bisa melanjutkan studi sampai jenjang S3.

Pasalnya sejak tamat SMA tahun 1994, Musriadi tak langsung melanjutkan studi ke jenjang S1. Melainkan memilih kerja membantu ibunya untuk biaya pendidikan adik-adiknya. Selama menjadi “penganggur” itu, Musriadi bekerja apa saja, mulai dari pekerja bangunan, kernet labi-labi, penjahit sepatu sampai menjadi pedagang ayam potong.

“Dari semua itu, saya terus bekerja keras, saya bermimpi untuk hidup selalu bermakna bukan saja untuk diri saya, tapi masyarakat secara umum” Katanya.

“Bagi saya, eksistensi kehidupan kita harus bermakna bagi semua orang, dengan sikap saling hormat menghormati. Karena saya sudah merasakan hidup dibawah menjadi pekerja yang kadang-kadang orang tak menghormati kita ketika berada di level bawah” Lanjutnya.

Dari itu, Musriadi memasang mimpinya untuk dapat hidup selalu bermakna bagi orang disekitarnya. Ia membangun mimpinya dengan melanjutkan studi S1 pada tahun 2001 di Universitas Serambi Mekkah setelah menjadi “penganggur” selama 7 tahun sejak selesai SMA Negeri 4   Banda Aceh sekarang SMA Negeri I Krueng Barona Jaya.

Ia tidak main-main dengan mimpinya, 4 tahun kemudian ia menjadi sarjana S1. Sejurus kemudian ia lanjutkan ke jenjang S2 bidang Manajemen Pendidikan di Universitas Syiah Kuala. Tak tanggung-tanggung, ijazah S2 ia peroleh 18 bulan. Menjadi inspirasi tersendiri bagi mahasiswa lain ketika itu.

“Dari awal saya berdoa, supanya pendidikan S2 selesai tepat waktu, alhamdullah S2 dapat saya selesaikan dalam kurun waktu 18 bulan” Katanya.

Buah dari kerja keras dan ketekunannya, Musriadi salah satu putra Aceh yang selalu mendapatkan beasiswa dalam menempuh studi, baik dari S1, S2 maupun S3. Itu semua ia lakukan bukan hanya harus belajar yang tekun, tapi usaha untuk mendapatkan beasiswa itu penuh dengan lika-liku dan optimisme.
Dalam bidang organisasi, Musriadi salah satu putra Ulee Kareng Banda Aceh yang patut dibanggakan. Pasalnya jiwa sosial untuk pengabdian dia kepada masyarakat bukan saja ditribusi melalui jalur akademis, tapi juga dengan jalur organisasi. Musriadi terlibat aktif di sejumlah organisasi baik yang bersifat kepemudaan, agama dan sosial dengan skala regional dan nasional.

Hal ini, dibenarkan oleh Jalaluddin (Kandidat Doktor Bidang Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Medan). Bagi Jalaluddin, Musriadi memiliki semangat juang, motivasi, pekerja keras dan sahabat yang setia dalam setiap organiasi. “Musriadi memiliki semangat kerja yang luar bisa untuk melawan kehidupannya masa silam yang terpuruk. Karena semangat itu, saat kini menjadi salah satu putra Banda Aceh asli yang diperbincangkan eksistensi baik dari segi akademis maupun dalam organisasi sosial keagamaan” ujar Jalaluddin yang setia menjadi koleganya sejak masih sama-sama masa studi SI dulu..

Keluarga
Istri    : Yenni Ulfiana, S.Pd.I
Anak : 1. Muhammad Rayyan ( 6 tahun)
            2. Jihan Khansa (1 tahun)

Sejarah Organisasi
  1. Wakil Ketua KNPI Kota Banda Aceh
  2. Ketua DPD forum Purna SP3 (Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan) Provinsi Aceh
  3. Wakil Sekretaris Badko HMI Provinsi Aceh
  4. Wakil Ketua Gerakan Pemuda Anti Korupsi (Gepak) Provinsi Aceh
  5. Bendahara Umum Forum Pemuda Produktif (FPP) Provinsi Aceh
  6. Sekretaris Umum Lembaga Pendidikan Keotaradja (LPK) Provinsi Aceh
  7. Sekretaris umum Farum Mahasiswa Magister Administrasi Pendidikan Unsyiah.

  
Penghargaan
  1. Penerima Beasiswa Nurani Dunia, tahun 2004
  2. Penerima Beasiswa BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana), Dikti, Program S2 di Universitas Syiah Kuala, tahun 2008-2010
  3. Penerima Beasiswa BPPS (Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana), Dikti, Program S3 di Universitas Negeri Medan, tahun 2012-sekarang)
  4. Penerima Penghargaan Bidang Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan di Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI.
  5. Penerima Hibbah Penelitian Fundamental dari Kementerian Pendidikan Nasional RI.


Musriadi Aswad, M.Pd
Kandidat Doktor Bidang Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Medan.